Beberapa hari yang lalu mencuat berita bahwa
Indonesia mendapat protes dari pemerintah Singapura terkait dengan penamaan kapal perang
Indonesia yang baru dibeli dari Jerman. Nama Usman Harun, dipilih dengan alasan
bahwa Usman dan Harun merupakan pahlawan nasional. Namun penamaan kapal perang
tersebut ditentang oleh pemerintah Singapura, karena dianggap sebagai teroris,
atas apa yang pernah dilakukan di negara singa putih tersebut.
Indonesia menganggap bahwa Usman dan
Harun adalah dua tokoh yang berjasa terhadap kehormatan dan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Usman yang
lahir di Purbalingga pada 18 Maret 1943 mengikuti pendidikan Korps Komando
Angkatan Laut sejak 1962. Berbeda dengan rekannya, Harun yang lahir 4 April
1943 di Bawean baru masuk pendidikan dua tahun kemudian. Sebelum sama-sama
melakukan operasi di Singapura, keduanya sudah bertemu di Tim Brahma I di Basis
II Ops A KOTI. Usman dan Harun telah
gugur dalam mempertahankan kehormatan dan kedaulatan NKRI. Hal itu terjadi di
masa perjuangan Dwikora, ketika konfrontasi dengan Malaysia.
Pada 31 Agustus 1957 berdiri negara
Persemakmuran Malaya. Saat itu, negara Malaysia berpeluang untuk memperluas
wilayahnya, karena pada saat bersamaan, Singapura ingin bergabung dalam
persemakmuran, namun ditolak oleh Inggris.
Kemudian pada 16 September 1963 dibentuk
federasi baru bernama Malaysia yang merupakan negara gabungan Singapura,
Kalimantan Utara (Sabah), dan Sarawak.
Kesultanan Brunei kendatipun ingin
bergabung dengan Malaysia, namun tekanan oposisi yang kuat lalu menarik diri.
Alasan utama penarikan diri adalah Brunei merasa memiliki banyak sumber minyak,
yang nanti akan jatuh ke pemerintahan pusat (Malaysia).
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden
Soekarno sejak semula menentang keinginan Federasi Malaya yang tidak sesuai
dengan perjanjian Manila Accord. Presiden Soekarno menganggap pembentukan
Federasi Malaysia sebagai “boneka Inggris” merupakan kolonialisme dan imperialisme
dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam
negeri dan pemberontakan di Indonesia.
Maka dibentuklah sukarelawan untuk
dikirim ke negara itu setelah dikomandokannya Dwikora oleh Presiden Soekarno
pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta. Usman memiliki nama asli Sersan KKO Janatin
alias Usman bin Haji Muhamad Ali.
Sedangkan Harun bernama lengkap Kopral
KKO Tohir alias Harun bin Said. Usman adalah prajurit KKO kelahiran
Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 18 Maret 1943 dan Harun adalah kelahiran
Pulau Bawean, 4 April 1947.
Pada Maret 1965, Usman, Harun dan Gani
bin Arup, mendapat tugas khusus dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI) untuk
memasuki Singapura sebagai bagian dari perkuatan militer Indonesia untuk
membantu para sukarelawan Indonesia di wilayah musuh.
Dengan menggunakan perahu karet,
ketiganya berangkat tanggal 8 Maret 1965 dengan membawa 12,5 kilogram bahan
peledak. Mereka mendapat perintah untuk melakukan sabotase ke sasaran-sasaran
penting di kota Singapura. Sasaran tidak ditentukan dengan pasti, jadi harus
ditentukan sendiri.
Tanggal 10 Maret 1965 mereka berhasil
meledakkan bangunan MacDonald House yang terletak di pusat kota. Peristiwa itu
menimbulkan kegemparan dan kekacauan bagi masyarakat Singapura.
Setelah melakukan aksinya, Harun dan
Usman melarikan diri dan berhasil mencapai daerah pelabuhan, sedangkan Gani bin
Arup mencari jalan lain. Sebuah motor boat
berhasil mereka rampas untuk kembali ke Pulau Sambu.
Namun di tengah jalan, motor boat
mengalami kerusakan mesin. Mereka akhirnya ditangkap patroli musuh pada 13
Maret 1965. Keduanya dibawa kembali ke Singapura untuk diadili. Pengadilan
Singapura akhirnya menjatuhkan vonis hukuman mati. Pemerintah Indonesia pun
melakukan berbagai usaha untuk meminta pengampunan atau keringanan hukuman,
namun tidak berhasil.
Akhirnya pada hari Kamis tanggal 17
Oktober 1968, tepatnya pukul 06.00 pagi,
keduanya menjalani hukuman gantung di dalam penjara Changi, Singapura.
Jenazahnya kemudian dibawa ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
(TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.
Pada hari yang sama di mana Usman dan
Harun digantung untuk kejayaan bangsa ini, Pemerintah RI di bawah kepemimpinan
Presiden RI Soeharto, menganugerahi keduanya dengan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan
SK Presiden RI Nomor 050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968.
Dikutip
dari: Sindonews.com & tempo.co
0 Comments
komentarmu, aku tunggu! no spam!